AkberSMG73 Local Brand Identity
Monday, June 02, 2014
Sejak beberapa tahun lalu, era moderenisasi dan
globalisasi telah merambah penjuru dunia, tak terkecuali di Indonesia, Jawa dan
Semarang khususnya. Dengan era yang berkembang ini, “pasar” sudah jelas
menjadi zona potensial untuk memaksimalkan kemampuan dan meraih keuntungan
sebesar mungkin. Kemudahan informasi dan komunikasi, baik itu audio, visual
maupun audio visual melalui layanan data telah menjelma menjadi pintu kemana
saja serupa milik Doraemon. Bukan tidak mungkin sekarang kita bisa menjual Wingko
Babat Semarang ke client kita yang berada di London sana. Permasalahannya,
apakah mereka tau bahwa ada produk istimewa bernama Wingko di dunia ini?
Bagaimana mereka bisa tahu? Sedetil apa info mengenai produk tersebut?
Bagaimana kita menjual produk yang bahkan mereka tidak tahu bahwa produk
tersebut ada?
Dari
fenomena tersebut munculah pertanyaan “Seberapa perlu identitas produk
lokal terhadap perkembangan zaman yang begitu pesat”.
Sejatinya,
identitas produk lokal begitu diperlukan dalam memasarkannya. Hal ini
dikarenakan identitas tersebut lah yang memasarkan dirinya untuk menuju ke
seluruh calon konsumennya. Bahkan, identitas tersebut bukan hanya harus
dimiliki oleh sebuah produk, kota sekalipun harus memiliki identitas.
Sebelum
membahas lebih lanjut, apa sebenarnya “Identitas” tersebut?
Bisa
kita ketahui bahwa identitas sendiri berasal dari kata identik, yang arti
secara bebasnya adalah tanda atau cerminan unik yang hal satu degnan lainnya
memiliki perbedaan. Dari definisi tersebut sudah jelas bahwa identitas suatu
produk haruslah unik dan berbeda dengan yang lain.
Mari
bermain study kasus sejenak.
Albert, seorang turis asal Jerman sedang berlibur di
Indonesia. Suatu ketika dia tersesat di sebuah kota. Mulanya dia tertidur
ketika menumpang bis antar kota antar propinsi. Dalam panik, sekelebat mata dia
membaca sebuah tulisan di pinggir jalan. Albert bergumam “Spirit of, what? What
is it?”. Beberapa saat kemudia dia melihat lagi tulisan tersebut, “Oh ok, the
spirit of java”. Seketika itu pula Albert menuliskan kata tersebut pada web
browser di smartphonenya, dia berpikir, pasti ada yang spesial dengan kalimat
itu. “I wonder, is it some kind of city's tagline?”. Dan benar saja, nama kota
Solo muncul dalam searching yang dia lakukan. “Oh, here I am, I'm in Solo”. Tak
lagi panik yang ada di kepalanya, berbagai info mudah saja dia dapatkan di
internet.
Ok, dari cerita di atas, sudah jelas bahwa kota tersebut,
yaitu Solo, memiliki sebuah Brand Identity, Solo, The Spirit of Java. Sebuah
penggambaran unik, mewakili apa yang ada di kota tersebut sehingga cocok
menjadi sebuah identitas kota tersebut. Apa jadinya jika Albert tidak menemukan
sebuah identitas atau tagline kota? Tentu saja dia masih panik karena tersesat.
Meskipun berada di kota besar sekalipun, jika tidak ada sebuat landmark atau
city's tagline, serta keterbatasan bahasa, akan menjadikan liburan Albert
sebuah petaka.
Ketika
tagline kita rubag jadi Malioboro, kota yang muncul pun juga jelas, yaitu
Jogja. Seperti Solo, identitas Jogja juga sudah begitu tepat dan pas.
Lantas,
bagaimana dengan Semarang?
Bukan rahasia lagi jika Semarang memiliki wilayah kota
Lama yang otentik dan indah, bahkan kita bisa bilang lebih mengagumkan
ketimbang Kota Tua di Jakarta. Dari segi luas wilayah, keragaman arsitektur
serta bakal infrastruktur yang ada, kita perlu berbangga akan Kota Lama ini.
Tak berlebian jika kita menyebut Semarang sebagai periuh wajah arsitektur di
pantura.
Lanjut berbicara mengenai keunikan kota Semarang, tentu
banyak sekali seperti yang kita ketahui misalkan saja tempat wisata yang sayang
jika dilewatkan para wisatawan seperti Lawang Sewu, Sam Pho Kong, Kota Lama,
PRPP dan masih banyak lainnya. Tapi tak hanya tempat wisata yang diminati
wisatawan tiap mengunjungi kota semarang tapi juga agenda-agenda unik yang
disajikan Semarang seperti Dugderan tiap menjelang bulan puasa, Semarang Night
Carnival untuk merayakan hari jadi kota semarang, dan juga Lumpia, Bandeng
Presto sebagai oleh-oleh khas kota ini.
Kembali ke kajian moderenisasi, peran digital environment
dalam pembentukan City Identity cukup signifikan. Sebagai contoh, pemanfaatan
sosial media micro blog seperti Twitter, Instagram, serta Path untuk mempublish
event, landmark atau apapun yang berhubungan dengan kota yang sedang
di-branding. Dari fakta tersebut, kita bisa menyimpulkan bahwa sejatinya peran
masyarakan dalam pembentukan City Identity lebih besar ketimbang pemerintah.
Kita bisa menyebutnya “The Rise of Middle Class”.
Lantas,
mau disebut apa Semarang tercinta ini?
Sudahkah
kita memiliki City Identity dari Semarang?
Setelah
kita tahu perlunya dan contoh City Identity, kini langkah apa yang harus kita
tempuh untuk menciptakan identitas unik tersebut?
Tentunya,
sebelum kita menciptakan dan menetapkan identitas, kita harus tahu dulu unsur
apa saja yang harus dipertimbangkan.
Pentingnya
Kenangan atau Memori Masa Lalu sebagai Jiwa Kota.
Untuk membentuk sebuah “City Identity” dibutuhkan observasi
mendalam dan menyeluruh oleh seluruh lapisan masyarakat. Dengan observasi yang
mendalam kita bisa menjadi kenal akan sejarah terbentuk dan tapak
perkembangannya. Karena seyogyana, memilih sejarah adalah hal penting dalam pembangunan identitas. Tanpa sejarah
yang diungkap, kehampaan memori akan muncul. Dampak dari kehampaan sejarah itu
antara lain kegilaan,lepasnya pegangan dalam pembentukan dan pembagunan kota.
Akan bahaya jika sebuah kota dibangun berbeda, bahkan betolakbelakang dengan
sejarah awalnya. Pembangunan menjadi tidak sesuai dengan “jiwa” masyarakatna.
Sebagai contoh kota maritime seperti Semarang dibangun sebagai kota metropolis
yang setara dengan Jakarta. Kota berpedoman pada sistem ekonomi. Sejatinya
Thomas Kersten membangun kota ini seperti Belanda. Bukan membawa Belanda ke
Jawa, tapi mengaplikasikan teknologi polder dan dam-dam Belanda ditetapkan di
Semarang ini secara kondisi Semarang yang mirip dengan Belanda.
Dalam pembangunan kota, peran serta seluruh lapisan
masyarakat termasuk para “netizen”, pihak pemerintah dan swasta harus bahu
membahu menemukan, merekonstruksi dan mengembangkan identitas suatu kota.
Sejauh ini yang nampak memang seluruh lapisan masyarakat telah berusaha
memunculkan melabei kotanya. Permasalahannya adalah usaha mereka terlihat
sporadic dan tidak saling bahu membahu. Pemaksaan idealis pribadi dalam
pembangunan masih tampak jelas. Untuk itu perlunya seluruh lapisan untuk duduk
berdiskusi dan mulai menyatukan pikiran, barulah “City Identity” akan
terbentuk. Dibentuk dengan ide, pandangan dan semangat bersama.
Sudah siapkah kita menjadi diri sendiri
untuk bersaing???
0 komentar